Jumat, 28 September 2012

Musik Cara Terapi yang Baik

Mendengar musik atau bermain musik merupakan hal yang sangat populer dimasyarakat, namun tahu kah kita bahwa musik merupakan salah satu cara melakukan terapi. Menurut Dr. Djohan profesor psikologi musik di Institut Seni Indonesia (ISI), penelitian telah menunjukkan bahwa musik dapat meringankan berbagai keluhan dan gangguan seperti kecemasan, depresi, gangguan saraf, insomnia dan stroke, dan dapat mengurangi risiko infeksi, detak jantung dan kontrol tekanan darah. 
Terapi musik sangat penting untuk mempercepat proses penyembuhan dalam kondisi seperti itu, yang dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti menyanyi, bermain musik, membuat gerakan ritmis atau hanya mendengarkan musik,” kata dosen pascasarjana di Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta dan Universitas Negeri Semarang ini.
Secara historis, menurut pria penerima penghargaan Penggunaan Terapi Musik dari College of Music di Universitas Mahidol Bangkok, Thailand, pada 2009 ini, terapi musik sudah dikenal pada akhir abad ke-18, meskipun sebelumnya menjadi media penyembuhan di beberapa tempat seperti Cina, India, Yunani dan Italia. 
Di Amerika, terapi ini diterapkan untuk mengobati korban Perang Dunia I, terutama untuk mengatasi trauma yang mempengaruhi para veteran perang, bahkan para terapis musik sudah berafiliasi dalam sebuah organisasi American Music Therapy Association (AMTA),” kata Djohan, yang juga anggota dari Australia Musik dan Asosiasi Psikologi.  
 

Jenius dan Gangguan Jiwa Tidak Jauh Beda

Amerika Serikat, Gudang Psikologi - Banyak tokoh dunia yang terkenal dengan kejeniusanya mengalami gangguan jiwa. sebuah penelitan baru menemukan bahwa kedua hal tersebut salaing berhubungan. 
Dengan banyaknya tokoh dunia yang dikenal dengan kejeniusanya justru mengalami gangguan jiwa seperti Isac Newton, Ludwig van Beethoven, Edgar Allan Poe, dan John Nash ini menyebabkan banyak orang menganggap bahwa jenius tidak jauh beda dengan gangguan jiwa. 

Hasil penelitian baru yang menyebutkan hubungan keduanya, telah dibahas dalam sebuah acara 5th annual World Science Festival pada 31 Mei di New York, Amerika Serikat.
Salah satu panelis acara tersebut adalah Kay Redfield Jamison, psikolog klinis dan profesor dari Johns Hopkins University School of Medicine. Ia mengatakan, temuan ini mendukung bahwa banyak orang jenius yang justru mengalami siksaan psikis. Kreativitas bagi mereka terkait dengan gangguan suasana hati atau bipolar.
Sebuah penelitian lain yang diterbitkan tahun 2010 di Swedia pada 700.000 orang usia 16 tahun. Penelitian ini dilakukan untuk menguji kecerdasan peserta dan menindaklanjuti apakah 10 tahun berikutnya ada kemungkinan mengalami penyakit mental.
“Mereka menemukan bahwa orang yang unggul saat mereka berusia 16 tahun empat kali lebih mungkin untuk terus mengembangkan gangguan bipolar,” ungkap Jamison, seperti dilansir Livescience, Selasa (5/6).
Gangguan bipolar merupakan merupakan perubahan suasana hati yang ekstrem, terdiri dari episode kebahagiaan (mania) dan depresi. Kemudian bagaimana siklus ini dapat menciptakan kreativitas?
“Orang-orang dengan bipolar cenderung menjadi kreatif ketika mereka keluar dari depresi berat. Ketika suasana hati membaik, kegiatan otaknya pun bergeser. Aktivitas mati di bagian bawah otak yang disebut lobus frontal dan menyala di bagian yang lebih tinggi dari lobus,” jelas James Fallon, neurobiologis dari University of California-Irvine, yang ikut menjadi panelis.
Fallon menambahkan, hebatnya, pergeseran yang sama juga terjadi saat kreativitas terjadi dengan sangat tinggi pada otak manusia.
“Ada hubungan antar sirkuit yang terjadi antara bipolar dan kreativitas,” jelas Fallon.
Namun, tidak selamanya dorongan kreativitas muncul saat setelah depresi muncul. Kondisi gangguan kejiwaan juga dapat melemahkan atau bahkan mengancam hidup seseorang. (dtk/mba)

Selasa, 07 Februari 2012

Minta Cium, Cinta atau Nafsu?

Siapa diantara Anda yang saat ini sedang menjalin cinta atau setidaknya pernah menjalin hubungan cinta? Sebagian besar orang pernah memadu kasih dalam ikatan cinta. Siapa yang tidak bahagia berpegangan tangan, saling merangkul, berciuman dan melakukan bentuk kemesraan lain dengan pasangan.

Sebuah masalah akan muncul ketika mereka masih dalam proses pacaran. Salah satu pasangan dianggap agresif dan sering meminta untuk dipeluk, bahkan dicium. Beberapa orang menganggap hal itu adalah tidak benar dan cenderung memanfaatkan situasi.

Namun, di sisi lain, tuntutan untuk dicium dan dipeluk dianggap sebagai bentuk rasa cinta pada pasangan. Tuntutan yang tidak terpenuhi, dianggap tidak ada cinta di sana. Dalam sebuah perumpamaan, cinta tanpa ciuman seperti sayur tanpa garam.

Pertanyaanya, apakah anggapan masyarakat terutama di kalangan remaja ini benar? Dilihat dari kacamata psikologi, Sternberg mengungkapkan dalam penelitiannya, bahwa cinta memiliki tiga unsur, yaitu gairah (passion), kedekatan (intimacy), dan komitmen (commitment). Walaupun tidak semua orang memenuhinya, cinta yang sempurna adalah cinta yang memiliki syarat adanya ketiga unsur tersebut. Jadi, masing-masing unsur tidak boleh hilang dalam hubungan cinta yang sempurna.

Ciuman di kening, pipi dan bibir merupakan bentuk perilaku dari gairah dalam sebuah cinta. Bila orang menganggap bahwa nafsu atau gairah adalah sama dengan cinta, maka itu tidak sepenuhnya benar. Nafsu atau gairah merupakan bagian dalam tiga unsur cinta yang sempurna.

Kemudian, bagaimana anggapan bahwa cinta tanpa pelukan dan ciuman seperti sayur tanpa garam? Inilah yang disebut dengan Companionate love oleh Sternberg, yaitu di mana gairah sudah tidak nampak lagi, tetapi kedekatan yang mendalam dan komitmen masih tetap ada. Tipe cinta ini merupakan cinta tanpa adanya gairah. Biasanya terjadi pada mereka yang memiliki hidup yang sibuk dan seiring waktu gairah pada pasangan mulai memudar, namun masih ada komitmen untuk hidup bersama.

Perbedaan status ‘pernikahan’ dan ‘berpacaran’ membuat unsur gairah dalam cinta memiliki nilai yang berbeda. Dalam sebuah pernikahan, gairah merupakan unsur yang harus ada dan terpenuhi oleh masing-masing pasangan. Berbeda ketika masih pacaran, sebagian pasangan menganggap gairah dalam ikatan cinta merupakan pemaksaan dan cenderung memanfaatkan situasi.

Keputusan ada di tangan Anda, masih menganggap ciuman adalah hal yang negatif ketika pacaran, atau itu adalah bagian dari cinta.

Kekerasan Dalam Pacaran, Putus Saja

Sebuah hubungan memiliki siklus yang bervariasi. Dalam kasus kekerasan misalnya, dimana setelah muncul kekerasan, kemudian minta maaf dan kembali rukun. Namun, ini akan terjadi berulang-ulang pada kesempatan lain.

Siklus ini dapat terjadi pada hubungan antara laki-laki dan perempuan, termasuk mereka yang masih pacaran. Kekerasan dalam pacaran sendiri sudah banyak dialami oleh kebanyakan orang. Bahkan Kasus Leni (21), mahasiswi Universitas Paramadina tengah dipidanakan oleh pacaranya sendiri, Anjas (27).

“Perilaku kekerasan terhadap pasangan sangat cenderung mengulangi perbuatannya. Jadi memang lebih baik pisah pada saat terjadi kekerasan pertama kali,” kata psikolog forensik dan juga pengajar Universitas Bina Nusantara (Binus) Jakarta, Reza Indra Giri Amriel, Jumat (17/6/2011).

Berbeda dengan kekerasan dalam rumah tangga, dimana istri akan berpikir dua kali untuk bercerai. Selain itu ia juga akan dihadapkan dengan single parents, pemenuhan kebutuhan anak, dan juga persepsi negatif bagi seorang janda.

“Tetapi dalam pacaran, seperti yang dialami Leni, apa yang harus di pertimbangkan? Putuskan saja. Toh masih pacaran,” ujar psikolog ini.

Kasus Leni terjadi ketika (22/11/10) ia bertemu dengan Anjas di Kemayoran. Waktu itu Anjas ingin putus pacaran dengan cara baik-baik, namun pada pukul 19.30 WIB, tiba-tiba ia memaksa Leni menciumnya dan meraba tubuh Leni.

Spontan Leni membela diri dan menyiramkan segelas air panas. Ironis, justru Leni yang saat ini menjadi terdakwa dengan hukuman 2,5 tahun penjara

Senin, 06 Februari 2012

Pacaran Backstreet Membuat Stres

Bila pacaran ditentang oleh orangtua, maka jalan yang biasanya banyak dilakukan oleh kalangan remaja adalah pacaran backstreet. Secara tidak langsung, pacaran backstreet merupakan bentuk perlawanan remaja pada sikap orangtua yang melarangnya. Pacaran dengan model seperti ini tidak jarang menimbulkan dampak yang tidak sehat.

Wiwit Puspitasari MPsi, psikolog rumah sakit Awal Bros Batam mengatakan, pacaran dengan model backstreet biasanya dilakukan dengan rahasia. Tidak lagi terbuka dan memilih sembunyi-sembunyi, takut diketahui orang lain.

“Padahal sikap bersosialisasi dan memiliki teman curhat sangat penting untuk perkembangan jiwa remaja,” ujarnya.

Mereka yang melakukan pacaran backstreet lebih sering memendam perasaan mereka. Tentu hal ini tidak baik bagi kesehatan jiwa mereka. Stres yang mungkin timbul akan cenderung meningkat dengan beban pikiran yang kuat.

Selain berujung pada stres, remaja yang melakukan pacaran backstreet akan kehilangan masa konsentrasi untuk belajar dan beraktifitas lainnya karena efek dari stres dan banyak pikiran.

Baiknya, komunikasikan hal ini dengan orang terdekat. Setiap keputusan pasti ada resikonya, apalagi bentuk pacaran backstreet yang cenderung tidak berkata jujur pada orangtua atau teman. Butuh keberanian yang kuat untuk melakukannya.

“Hal ini merupakan proses pembelajaran remaja untuk menjadi dewasa. Di mana berani mengambil keputusan dan berani menerima keputusan. Lebih bersikap terbuka dari awal agar kamu memiliki gaya pacaran yang sehat,” katanya. (mba-trbn)
sumber http://www.psikologizone.com/

Waspadai HIV/AIDS di Kalangan Remaja

Kalangan pelajar menjadi perhatian khusus dalam mewaspadai tertularnya HIV AIDS. Ini mengapa remaja sebagai usia produktif mudah terpengaruh, sebab mereka masih mudah terpengaruh dalam pergaulan.

Tugurejo Paula Budi Suryaningsih, psikolog RSUD Tugurejo menyatakan hal yang sama. Remaja adalah usia yang rentan dalam penyebaran HIV/AIDS. Keingintahuan yang besar membuat remaja lebih mudah dalam terjerumus penggunaan barang haram seperti narkoba bahkan melakukan seks bebas.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Griya ASA PKBI, 97 dari seribu orang responden telah melakukan hubungan seksual.

Menurut Dr Dwi Yoga Yulianto, Manager Klinik Griya ASA PKBI dalam diskusi HIV/AIDS di Kampus Universitas Stikubank (Unisbank) Mugas, Kamis (21/7), jumlah pengguna HIV/AIDS di Jawa Tengah saja sudah menempati posisi ke tujuh dengan 1.030 kasus dan didominasi kaum perempuan sebanyak 62 persen sejak tahun 1993.

Sebagai solusi penanganan dan pencegahan penularan virus ini, maka cara yang efektif adalah dengan menghindari perilaku yang menjadi awal masuknya penyakit dapat tertular. Bukan hanya terjadi pada kalangan dewasa, namun ini sudah sangat meresahkan dengan mulai menyentuh kaum remaja dengan usia 15-20 tahun.

Diharapkan dengan banyaknya diskusi tentang HIV/AIDS dapat memberikan informasi agar mereka tidak menjadi korban virus ini dan berdampak pada kehidupan mereka.
sumber http://www.psikologizone.com/

Penyebab Remaja Merokok


Saat ini, sudah tidak asing lagi melihat remaja merokok. Perilaku merokok sudah dimulai pada masa anak-anak dan masa remaja. Hampir sebagian memahami akibat berbahaya dari merokok. Pertanyaanya, kenapa masih banyak diantara remaja ini tidak mencoba menghindari perilaku tersebut?

Sebuah penelitian telah dilakukan oleh Avin Fadilla Helmi dari Universitas Gadjah Mada dan Dian Komalasari dari Universitas Islam Indonesia dalam jurnal yang berjudul faktor-faktor penyebab perilaku merokok pada remaja.

Terdapat berbagai macam alasan yang melatarbelakangi perilaku merokok pada remaja. Secara umum, perilaku merokok disebabkan faktor dalam diri juga disebabkan faktor lingkungan. Faktor dalam diri remaja dapat dilihat dari kajian perkembangan remaja, yaitu krisis psikososial dari Erikson yang mengatakan bahwa masa remaja adalah masa mencari jati dirinya.

Perilaku merokok merupakan simbol bahwa mereka telah matang, punya kekuatan, bisa menjadi pemimpin dan memiliki daya tarik pada lawan jenis. Adanya faktor kepuasan psikologi yang diperoleh dari merokok yaitu berupa keyakinan dan perasaan menyenangkan dapat membuat perilaku ini semakin kuat.

Faktor dari lingkungan adalah pihak-pihak yang berpengaruh besar dalam proses sosial. Proses ini meliputi transmisi nilai, kepercayaan, sikap dan perilaku yang diturunkan. Walaupun orangtua memiliki peranan dalam proses sosial, namun ada kelompok yang memiliki memiliki transmisi sosial secara horisontal yaitu teman sebaya.

Masa remaja adalah masa dimana mereka mulai memisahkan diri dari orangtua dan bergabung pada kelompok sebaya. Apalagi kebutuhan untuk diterima sering kali membuat remaja berbuat apa saja agar dapat diterima dalam kelompok dan bebas dari sebutan “pengecut” dan “banci”.

Bagaimana perilaku merokok ini dapat menular? Salah satu yang dapat menjelaskan adalah dengan teori social cognitive learning dari bandura. Teori ini menyatakan bahwa perilaku individu disebabkan oleh pengaruh lingkungan, individu dan kognitif. Jadi, perilaku merokok bukan hanya proses meniru, namun ada penguatan dari teman sebaya dan keluarga bila sama-sama merokok.

4 tahap perilaku merokok sehingga menjadi perokok, yaitu:

Tahap Preparatory, seorang mendapatkan gambaran yang menyenangkan mengenai merokok dengan cara mendengar, melihat, atau dari hasil bacaan. Hal-hal ini menimbulkan minat untuk merokok.
Tahap Initiation. Tahap perintisan merokok yaitu tahap apakah seseorang yang akan meneruskan ataukah tidak terhadap perilaku merokok.
Tahap Becoming a Smoker. Apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebanyak 4 batang per hari maka mempunyai kecenderungan menjadi perokok.
Tahap Maintenance of Smoking. Tahap ini merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan diri (self-regulating). Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan.

Avin Fadilla Helmi dan Dian Komalasari memberikan saran bagi orangtua menghindari anak tidak merokok:

Bagi orangtua yang menginginkan anaknya tidak merokok maka anggota keluarga tidak disarankan merokok atau tidak memberikan pengukuh positif ketika remaja merokok.
Teman sebaya memberikan kontribusi yang cukup besar kepada remaja untuk merokok, dalam hal ini jika orangtua tidak menginginkan anaknya merokok, maka orangtua perlu waspada pada kelompok sebaya anaknya.
Perilaku merokok lebih didasarkan atas pertimbangan emosional. Berkaitan dengan masalah tersebut upaya preventif maupun kuratif sebaiknya tidak menggunakan pendekatan kognitif seperti pemberian informasi bahaya atau dampak negatif merokok, tetapi sentuhan-sentuhan afeksional atau pendekatan emosi.
sumber http://www.psikologizone.com/

Berolahraga Mengurangi Kebiasaan Merokok


Riset dari University of Exeter mengungkapkan untuk pertama kalinya pada tahun 2009, bahwa perubahan dalam aktivitas otak yang dipicu oleh latihan fisik dapat membantu mengurangi ketagihan merokok.

Diterbitkan dalam jurnal Psychopharmacology oleh Kate Janse Van Rensburg PhD, studi ini menunjukkan bagaimana olahraga mengubah cara otak memproses informasi, sehingga mengurangi keinginan perokok terhadap nikotin. Untuk pertama kalinya, peneliti menggunakan pencitraan functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI) untuk menyelidiki bagaimana otak memproses gambar rokok setelah olahraga.

Dikutip dari ScienceDaily (10/2/2009), penelitian ini menambah bobot tubuh semakin bertambah, bukti bahwa olahraga dapat membantu mengelola kecanduan zat nikotin dan lainnya. Ini mendukung temuan penelitian sebelumnya, yang telah menunjukkan bahwa olahraga secara signifikan dapat mengurangi ketagihan nikotin pada perokok.

Sepuluh perokok diminta untuk berolahraga selama sepuluh menit, setelah 15 jam tidak menghisap nikotin. Mereka kemudian diberi scan fMRI ketika mereka diperlihatkan 60 gambar rokok. Beberapa gambar rokok biasanya akan mendorong keinginan perokok untuk merokok. Pada kesempatan kedua, kelompok yang sama diberikan fMRI scan dan diperlihatkan gambar yang sama tanpa melakukan olahraga. Mereka juga diminta untuk melaporkan keinginan mereka terhadap nikotin.

Gambar otak yang ditangkap oleh fMRI menunjukkan perbedaan antara dua kelompok ini. Mereka yang berolahraga tidak menunjukkan aktivitas tinggi dalam menanggapi gambar yang berhubungan dengan rokok. Para perokok ini juga melaporkan adanya keinginan rendah untuk merokok setelah berolahraga dibandingkan dengan ketika mereka tidak melakukannya.

Para peneliti tidak tahu persis apa yang menyebabkan hal ini. Salah satu saran adalah bahwa berolahraga meningkatkan suasana hati (melalui peningkatan dopamine) yang mengurangi keinginan merokok. Kemungkinan lain adalah bahwa olahraga menyebabkan pergeseran dalam aliran darah ke area otak yang kurang terlibat dalam mengantisipasi kesenangan yang dihasilkan oleh gambar merokok.

Penelitian sebelumnya oleh University of Exeter telah menyarankan bahwa olahraga dapat mengurangi ketagihan nikotin. Hasil dari serangkaian studi menunjukkan bahwa ketagihan merokok akan berkurang setelah berolahraga. Studi ini menunjukkan bahwa olahraga telah terbukti menjadi solusi bagi mereka yang sulit berhenti merokok. Ini adalah penelitian pertama kali dengan menyelidiki aktivitas otak.

Ini dapat menjadi alternatif untuk mereka yang menggunakan obat farmasi untuk membantu berhenti dari rokok. Berolahraga dengan berjalan dan jogging sepuluh atau lima belas menit, dapat membantu perokok menghentikan kebiasaan merokok. Tentu saja banyak manfaat lain dari gaya hidup yang lebih aktif, termasuk meningkatkan kebugaran fisik, penurunan berat badan dan perbaikan suasana hati
sunber http://www.psikologizone.com/

Henry Molaison, Manusia Tanpa Ingatan



Amerika Serikat, Psikologi Zone – Henry Molaison, yang dikenal oleh ribuan mahasiswa psikologi di Amerika Serikat sebagai “HM”. Ia mengalami hilang ingatan setelah dioperasi oleh sebuah rumah sakit di Hartford, pada bulan Agustus 1953. Pada saat itu ia berusia 27 tahun dan menderita serangan epilepsi.

Dikutip dari Psychology Today (16/1/12), dalam sebuah operasi, secara tidak sengaja dilakukan pengangkatan struktur otak yang biasa disebut dengan hippocampus milik Henry. Pada saat itu belum diketahui bahwa hippocampus sangat penting untuk menyimpan ingatan atau memori jangka panjang.

Jika seseorang kehilangan dua hippocampus pada sisi otak kanan dan kiri, maka akan terjadi global amnesia. Global amnesia adalah kehilangan kedua hippocampus, yang berarti tidak bisa belajar kata-kata baru, lupa siapa dirinya, berbicara dengan terbalik-balik, tidak tahu berapa umurnya, tidak tahu siapa orangtuanya, dan tidak pernah lagi mengingat dengan jelas sebuah acara, seperti pesta ulang tahun, atau siapa presiden saat itu.

Akhirnya, selama 55 tahun ia berpartisipasi dalam berbagai percobaan, terutama di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Namanya telah disebutkan di hampir 12.000 jurnal penelitian dan membuat dirinya sebagai kasus penelitian yang paling banyak dipelajari dalam sejarah medis dan psikologis.

Henry meninggal pada tanggal 2 Desember 2008, pada usia 82 tahun. Sampai saat itu, ia dikenal dunia hanya dengan inisial “HM”, tapi pada saat ia meninggal dunia, namanya terungkap. Inisial digunakan untuk melindungi identitasnya sebagai subjek penelitian.

Diketahui bahwa hilangnya ingatan Henry sangat kompleks. Ia kehilangan kedua hippocampus, namun masih memiliki intelligence di area non-memory. Ini membuat seolah dirinya berhenti hingga usia 16 tahun. Dia masih bisa mempertahankan kemampuan untuk belajar beberapa keterampilan motorik baru. Walaupun ia tidak pernah ingat ketika telah melakukan serangkaian uji penelitian berulang kali dengan tes yang sama.

Dia juga orang yang sangat bahagia dan ramah, selalu menyenangkan. Dia nampak tidak pernah bosan melakukan tes ingatan, yang dianggap sebagian orang membosankan. Pengetahuan dunia tentang penyakit otak dan cara kerja pikiran normal akan sangat kurang jika bukan karena kemurahan hati orang-orang seperti Henry dan keluarganya. Henry telah memberikan hadiah utama bagi perkembangan ilmu pengetahuan, baik dalam bidang psikologi, neuropsikologi, maupun psikiatri.

Kecerdasan Anak Berasal dari Orang Tua


Sebuah penelitian yang dilakukan di Inggris dan Skotlandia menyimpulkan orangtua mewariskan setengah kecerdasan pada anak. Inilah salah satu evolusi manusia yang luar biasa.
Orang tua mana yang tidak mengharapkan anaknya cerdas dan pintar? Hampir semua orang tua mengharapkan hal tersebut. Namun sadarkah para orang tua bahwa kecerdasan yang dimiliki anaknya juga berasal dari orang tuanya?
Penelitian yang ini merupakan hasil yang diperoleh dari 3.500 responden yang tinggal di Inggris dan Skotlandia. Para responden dianaliss untuk diselidiki setengah juta penanda genetik dan perubahan kecil yang terjadi pada DNA-nya. Peneliti juga memeriksa hasil penelitia dan tes kecerdasan, serta dilengkapi dengan data pendidikan para responden.
Penelitian ini menunjukkan bahwa 40 persen kecerdasan yang dimiliki anak termasuk jenis kecerdasan kristal, atau dikenal dengan istilah ilmiahnya crystallised-type intelligence. Kecerdasan kristal ini yakni kemampuan memperoleh pengetahuan dan keterampilan selama bertahun-tahun yang tersimpan dalam gen manusia.
Jenis kecerdasan lainnya yakni kecerdasan cair atau fluid-type intelligence. Kecerdasan cair ini yakni kemampuan bernalar dan berpikir abstrak yang bekerja dibawah tekanan perintah dari gen. Penelitian yang dipublikasikan melalui The Journal Molecular Psychiatry menyimpulkan bahwa, ada 51 persen kemampuan berpikir ‘outside the box’ (kemampuan berpikir keluar dari aturan) manusia, berada di bawah kekekuasaan gen.
Sebelumnya ada penelitian dari Peter Visscher yang bekerja di Queensland Institute of Medical Research, Australia. Penelitian Peter Visscher ini menghasilkan jawaban bahwa, banyak gen yang ikut peran pada kecerdasan anak.
Kepala penelitian Profesor Ian Deary dari University of Edinburgh menyebutkan banyak faktor yang terlibat dalam kecerdasan anak. Perbedaan pada kecerdasan yang dimiliki oleh setiap individu berkaitan sekali dengan faktor-faktor kehidupan. Misalnya berhubungan dengan pendidikan, pekerjaan, penghasilan, kesehatan dan faktor usia.
Walau pun begitu, Deary menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukannya secara tegas menyatakan sebagian besar perbedaan tingkat kecerdasan pada masing-masing individu lebih karena variasi genetik.
Keterbatasan materi tidak selalu menjadi pembatas tingkat intelektualitas seseorang. Boleh jadi kecerdasan yang dimilikinya merupakan hasil warisan dari kecerdasan orang tuanya. Penelitian ini juga menunjukkan perbedaan kecerdasan manusia dan simpanse, meski secara genetik sama.
sumber http://www.psikologizone.com

Jumat, 03 Februari 2012

TEORI KEPRIBADIAN ERICK FROMM


Erich Fromm lahir di Frankfurt, Jerman pada tanggal 23 Maret 1900.Ia belajar psikologi dan sosiologi diUniversity Heidelberg, Frankfurt, dan Munich. Setelah memperoleh gelar Ph.D dari Heidelbergtahun 1922, ia belajar psikoanalisis di Munich dan pada Institut psikoanalisis Berlin yangterkenla waktu itu. Tahun 1933 ia pindah ke Amerika Serikat dan mesngajar di Institutpsikoanalisis Chicago dan melakukan praktik privat di New York City. Ia pernah mengajar pada sejumlah universitas dan institut di negara ini dan di Meksiko. Terakhir, Fromm tinggal di Swiss dan meninggal di Muralto, Swiss pada tanggal 18 Maret 1980.
Fromm sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Karl Marx, terutama oleh karyanya yang pertama, The economic philosophical manuscripts yang ditulis pada tahun 1944. Tema dasar ulisan Fromm adalah orang yang merasa kesepian dan terisolasi karena iadipisahkan dri alam dan orang-orang lain. Kedaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia. Berikut ini kita akan mengulas lebih dalam mengenai teori-teori Fromm.
TEORI KEPRIBADIAN ERICH FROMM
Sebelum mengulas tentang teori kepribadian dari Fromm, beberapa pengalaman mempengaruhi pandangan Fromm, antara lain pada umur 12 tahun ia menyaksikan seorang wanita cantik dan berbakat, sahabat keluarganya, bunuh diri. Fromm sangat terguncang karena kejadian itu.Tidak ada seorang yang memahami mengapa wanita tersebut memilih bunuh diri.Ia juga mengalami sebagai anak dari orangtua yang neurotis. Ia hidup dalam satu rumah tangga yang penuh ketegangan. Ayahnya seringkali murung, cemas, dan muram.Ibunya mudah menderita depresi hebat.Tampak bahwa Fromm tidak dikelilingi pribadi-pribadi yang sehat.Karena itu, masa kanak-kanaknya merupakan suatu laboratorium yang hidup bagi observasi terhadap tingkah laku neurotis.Peristiwa ketiga adalah pada umur 14 tahun Fromm melihat irrasionalitas melanda tanah airnya, Jerman, tepatnya ketika pecah perang dunia pertama.Dia menyaksikan bahwa orang Jerman terperosok ke dalam suatu fanatisme sempit dan histeris dan tergila-gila.Teman-teman dan kenalan-kenalannya terpengaruh. Seorang guru yang sangat ia kagumi menjadi seorang fanatik yang haus darah. Banyak saudara dan teman-temannya yang meninggal di parit-parit perlindungan.Ia heran mengapa orang yang baik dan bijaksana tiba-tiba menjadi gila. Dari pengalaman-pengalaman yang membingungkan ini, Fromm mengembangkan keinginan untuk memahami kodrat dan sumber tingkah laku irasional.Dia menduga hal itu adalah pengaruh dari kekuatan sosio-ekonomis, politis, dan historis secara besar-besaran yang mempengaruhi kodrat kepribadian manusia.
Fromm sangat dipengaruhi oleh tulisan Karl Marx, terutama oleh karyanya yang pertama, The Economic and Philosophical Manuscripts yang ditulis pada tahun 1944.Fromm membandingkan ide-ide Freud dan Marx, menyelidiki kontradiksi-kontradiksinya dan melakukan percobaan yang sintesis.Fromm memandang Marx sebagai pemikir yang lebih ulung daripada Freud dan menggunakan psokoanalisa, terutama untuk mengisi celah-celah pemikiran Marx.Pada tahun 1959, Fromm menulis analisis yang sangat kritis bahkan polemis tentang kepribadian Freud dan pengaruhnya, sebaliknya berbeda sekali dengan kata-kata pujian yang diberikan kepada Marx pada tahun 1961. Meskipun Fromm deapat disebut sebagai seorang teoritikus kepribadian Marxian, ia sendiri lebih suka disebut humanis dialetik. Tulisan-tulisan Fromm dipengaruhi oleh pengetahuannya yang luas tentang sejarah, sosiologi, kesusastraan, dan filsafat.
Tema dasar dari dasar semua tulisan Fromm adalah individu yang merasa kesepian dan terisolir karena ia dipisahkan dari alam dan orang-orang lain. Keadaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia. Dalam bukunya Escape from Freedom (1941), ia mengembangkan tesis bahwa manusia menjadi semakin bebas dari abad ke abad, maka mereka juga makin merasa kesepian (being lonely). Jadi, kebebasan menjadi keadaan yang negatif dari mana manusia melarikan diri.Dan jawaban dari kebebasan yang pertama adalah semangat cinta dan kerjasama yang menghasilkan manusia yang mengembangkan masyarakat yang lebih baik, yang kedua adalah manusia merasa aman dengan tunduk pada penguasa yang kemudian dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat.
Dalam buku-buku Fromm berikutnya (1947, 1955, 1964), dikatakan bahwa setiap masyarakat yang telah diciptakan manusia, entah itu berupa feodalisme, kapitalisme, fasisme, sosialisme, dan komunisme, semuanya menunjukkan usaha manusia untuk memecahkan kontradiksi dasar manusia.Kontradiksi yang dimaksud adalah seorang pribadi merupakan bagian tetapi sekaligus terpisah dari alam, merupakan binatang sekaligus manusia.Sebagai binatang, orang memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik tertentu yang harus dipuaskan.Sebagai manusia, orang memiliki kesadaran diri, pikiran dan daya khayal.Pengalaman-pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah lembut, cinta, perasaan kasihan, sikap-sikap perhatian, tanggung jawab, identitas, intergritas, bisa terluka, transendensi, dan kebebasan, nilai-nilai serta norma-norma.
Kemudian teori Erich Fromm mengenai watak masyarakat mengakui asumsi transmisi kebudayaan dalam hal membentuk kepribadian tipikal atau kepribadian kolektif.Namun Fromm juga mencoba menjelaskan fungsi-fungsi sosio-historik dari tipe kepribadian tersebut yang menghubungkan kebudayaan tipikal dari suatu kebudayaan obyektif yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk merumuskan hubungan tersebut secara efektif, suatu masyarakat perlu menerjemahkannya ke dalam unsur-unsur watak (traits) dari individu anggotanya agar mereka bersedia melaksanakan apa yang harus dilakukan.
Fromm membagi sistem struktur masyarakat menjadi tiga bagian berdasar karakter sosialnya:
1. Sistem A, yaitu masyarakat-masyarakat pecinta kehidupan. Karakter sosial masyarakat ini penuh cita-cita, menjaga kelangsungan dan perkembangan kehidupan dalam segala bentuknya. Dalam sistem masyarakat seperti ini, kedestruktifan dan kekejaman sangat jarang terjadi, tidak didapati hukuman fisik yang merusak. Upaya kerja sama dalam struktur sosial masyarakat seperti ini banyak dijumpai.
2. Sistem B, yaitu masyarakat non-destruktif-agresif. Masyarakat ini memiliki unsur dasar tidak destruktif, meski bukan hal yang utama, masyarakat ini memandang keagresifam dan kedestruktifan adalah hal biasa. Persaingan, hierarki merupakan hal yang lazim ditemui. Masyarakat ini tidak memiliki kelemah-lembutan, dan saling percaya.
3. Sistem C, yaitu masyarakat destruktif. Karakter sosialnya adalah destruktif, agresif, kebrutalan, dendam, pengkhianatan dan penuh dengan permusuhan. Biasanya pada masyarakat seperti ini sangat sering terhadi persaingan, mengutamakan kekayaan, yang jika bukan dalam bentuk materi berupa mengunggulkan simbol.
Fromm juga menyebutkan dan menjelaskan lima tipe karakter sosial yang ditemukan dalam masyarakat dewasa ini, yakni:
1. Tipe Reseptif (mengharapkan dukungan dari pihak luar)
2. Tipe Eksploitasi (memaksa orang lain untuk mengikuti keinginannya)
3. Tipe Penimbunan (suka mengumpulkan dan menimbun barang suatu materi)
4. Tipe Pemasaran (suka menawarkan dan menjual barang)
5. Tipe Produktif (karakter yang kreatif dan selalu berusaha untuk menggunakan barang-barang untuk suatu kemajuan)
6. Tipe Nekrofilus-biofilus (nekrofilus orang yang tertarik dengan kematian, biofilus:orang yang mencintai kehidupan)
Fromm juga memngemukakan bahwa bila masyarakat berubah secara mendasar, sebagaimana terjadi ketika feodalisme berubah menjadi kapitalisme atau ketika sistem pabrik menggeser tenaga tukang, perubahan semacam itu akan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam karakter sosial manusia. Persoalan hubungan seseorang dengan masyarakat merupakan keprihatinan besar Fromm. Menurut Fromm ada validitas proposisi-proposisi berikut:
1) Manusia mempunyai kodrat esensial bawaan,
2) Masyarakat diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kodrat esensial ini,
3) Tidak satu pun bentuk masyarakat yang pernah diciptakan berhasil memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar eksistensi manusia, dan
4) Eksistensi manusia adalah mungkin menciptakan masyarakat semacam itu.
Kemudian Fromm mengemukakan tentang masyarakat yang seharusnya yaitu dimana manusia berhubungan satu sama lain dengan penuh cinta, dimana ia berakar dalam ikatan-ikatan persaudaraan dan solidaritas, suatu masyarakat yang memberinya kemungkinan untuk mengatasi kodratnya dengan menciptakannya bukan dengan membinasakannya, dimana setiap orang mencapai pengertian tentang diri dengan mengalami dirinya sebagai subjek dari kemampuan-kemampuannya bukan dengan konformitas, dimana terdapat suatu sistem orientasi dan devosi tanpa orang perlu mengubah kenyataan dan memuja berhala. Bahkan Fromm mebgusulkan suatu nama untuk masyarakat yang sempurna tersebut yaitu Sosialisme Komunitarian Humanistik. Dalam masyarakat semacam itu, setiap orang akan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi mansiawi sepenuhnya.



KONDISI EKSISTENSI MANUSIA
Dilema Eksistensi
Mengikuti filsafat dualism, semua gerak di dunia dilatarbelakangi oleh pertentangan dua kelompok ekstrim, tesa dan antitesa. Pertentangan itu akan menimbulkan sintesa, yang pada dasarnya dapat dipandang sebagai teas baru yang akan memunculkan antitesa yang lain. Itulah dinamika yang tidak pernah berhenti bergerak.
Menurut Fromm, hakekat manusia juga bersifat dualistik. Paling tidak ada empat dualistik di dalam diri manusia:
a. Manusia sebagai binatang dan sebagai manusia
Manusia sebagai binatang memiliki banyak kebutuhan fisiologik yang harus dipuaskan, seperti kebutuhan makan, minum, dan kebutuhan seksual.Manusia sebagai manusia memiliki kebutuhan kesadaran diri, berfikir, dan berimajinasi. Kebutuhan manusia itu terwujud dalam pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah lembut, cinta, kasihan, perhatian, tanggung jawab, identitas, intergritas, sedih, transendensi, kebebasan, nilai, dan norma.
b. Hidup dan mati
Kesadaran diri dan fikiran manusia telah mengetahui bahwa dia akan mati, tetapi manusia berusaha mengingkarinya dengan meyakini adanya kehidupan sesudah mati, dan usaha-usaha yang tidak sesuai dengan fakta bahwa kehidupan akan berakhir dengan kematian.
c. Ketidaksempurnaan dan kesempurnaan
Manusia mampu mengkonsepkan realisasi-diri yang sempurna, tetapi karena hidup itu pendek kesempurnaan tidak dapat dicapai.Ada orang berusaha memecahkan dikotomi ini melalui mengisi rentang sejarah hidupnya dengan prestasi di bidang kemanusiaan, dan ada pula yang meyakini dalil kelanjutan perkembangannya sesudah mati.
d. Kesendirian dan kebersamaan
Manusia adalah pribadi yang mandiri, sendiri, tetapi manusia juga tidak bisa menerima kesendirian. Manusia menyadari diri sebagai individu yang terpisah, dan pada saat yang sama juga menyadari kalau kebahagiaannya tergantung kepada kebersamaan dengan orang lain. Dilema ini tidak pernah terselesaikan, namun orang harus berusaha menjembatani dualism ini, agar tidak menjadi gila.Dualisme-dualisme itu, aspek binatang dan manusia, kehidupan dan kematian, ketidaksempurnaan dan kesempurnaan, kesendirian dan kebersamaan, merupakan kondisi dasar eksistensi manusia.Pemahaman tentang jiwa manusia harus berdasarkan analisis tentang kebutuhan-kebutuhan manusia yang berasal dari kondisi-kondisi eksistensi manusia.
Kondisi yang dibawa dari lahir antara tesa-antitesa eksistensi manusia, disebut dilema eksistensi. Di satu sisi manusia berjuang untuk bebas, menguasai lingkungan dengan hakekat kemanusiaannya, di sisi lain kebebasan itu memperbudak manusia dengan memisahkan hakekat kebinatangan dari akar-akar alaminya. Dinamika kehidupan bergerak tanpa henti seolah-olah manusia bakal hidup abadi, setiap orang tanpa sadar mengingkari kematian yang baka dan berusaha bertahan di dunia yang fana.Mereka menciptakan cita-cita ideal yang tidak pernah dapat dicapai, mengejar kesempurnaan sebagai kompensasi perasaan ketidaksempurnaan. Anak yang berjuang untuk memperoleh otonomi diri mungkin menjadi dalam kesendirian yang membuatnya merasa tidak berdaya dan kesepian; masyarakat yang berjuang untuk merdeka mungkin merasa lebih terancam oleh isolasi dari bangsa lain. Dengan kata lain, kemandirian dan kebebasan yang diinginkan malahan menjadi beban. Ada dua cara menghindari dilema eksistensi yaitu:
1. Menerima otoritas dari luar dan tunduk kepada penguasa dan menyesuaikan diri dengan masyarakat. Manusia menjadi budak (dari penguasa negara) untuk mendapatkan perlindungan/rasa aman.
2. Orang bersatu dengan orang lain dalam semangat cinta dan kerja sama, menciptakan ikatan dan tanggung jawab bersama dari masyarakat yang lebih baik.
KEBUTUHAN MANUSIA
Umumnya kata “kebutuhan” diartikan sebagai kebutuhan fisik, yang oleh Fromm dipandang sebagai kebutuhan aspek kebinatangan dari manusia, yakni kebutuhan makan, minum, seks, dan bebas dari rasa sakit.Kebutuhan manusia dalam arti kebutuhan sesuai dengan eksistensinya sebagai manusia, menurut Fromm meliputi dua kelompok kebutuhan; pertama kebutuhan untuk menjadi bagian dari sesuatu dan menjadi otonom, yang terdiri dari kebutuhan Relatedness, Rootedness, Transcendence, Unity, dan Identity. Kedua, kebutuhan memahami dunia, mempunyai tujuan dan memanfaatkan sifat unik manusia, yang terdiri dari kebutuhan Frame of orientation, frame of devotion, Excitation-stimulation, dan Effectiveness.

Kebutuhan Kebebasan dan Keterikatan
1. Keterhubungan (relatedness): Kebutuhan mengatasi perasaan kesendirian dan terisolasi dari alam dan dari dirinya sendiri. Kebutuhan untuk bergabung dengan makhluk lain yang dicintai,menjadi bagian dari sesuatu. Keinginan irasional untuk mempertahankan hubungan yang pertama, yakni hubungan dengan ibu, kemudian diwujudkan ke dalam perasaan solidaritas dengan orang lain. Hubungan paling memuaskan bisa positif yakni hubungan yang didasarkan pada cinta, perhatian, tanggung jawab, penghargaan, dan pengertian dari orang lain,bisa negatif yakni hubungan yang didasarkan pada kepatuhan atau kekuasaan.
2. Keberakaran (rootedness): Kebutuhan keberakaran adalah kebutuhan untuk memiliki ikatan-ikatan yang membuatnya merasa nyaman di dunia (merasa seperti di rumahnya). Manusia menjadi asing dengan dunianya karena dua alasan yaitu:
• Dia direnggut dari akar-akar hubungannya oleh situasi (ketika manusia dilahirkan, dia menjadi sendirian dan kehilangan ikatan alaminya)
• Fikiran dan kebebasan yang dikemangkannya sendiri justru memutus ikatan alami dan menimbulkan perasaan isolasi/tak berdaya.
Keberakaran adalah kebutuhan untuk mengikat diri dengan kehidupan.Setiap saat orang dihadapkan dengan dunia baru, dimana dia harus tetap aktif dan kreatif mengembangkan perasaan menjadi bagian yang integral dari dunia. Dengan demikian dia akan tetap merasa aman, tidak cemas, berada di tengah-tengah duania yang penuh ancaman. Orang dapat membuat ikatan fiksasi yang tidak sehat, yakni mengidentifikasikan diri dengan satu situasi, dan tidak mau bergerak maju untuk membuat ikata baru dengan dunia baru.
3. Menjadi pencipta (transcendency): Karena individu menyadari dirinya sendiri dari lingkungannya, mereka kemudian mengenali betapa kuat dan menakutkan alam semesta itu, yang membuatnya meras tak berdaya. Orang ingin mengatasi perasaan takut dan ketidakpastian menghadapi kemarahan dan ketakmenentuan semesta. Orang membutuhkan peningkatan diri, berjuang untuk mengatasi sifat fasif dikuasai alam menjadi aktif, bertujuan dan bebas, berubah dari makhluk ciptaan menjadi pencipta. Seperti menjadi keterhubungan, transendensi bisa positif (menciptakan sesuatu) atau negatif (menghancurkan sesuatu).
4. Kesatuan (unity): Kebutuhan untuk mengatasi eksistensi keterpisahan antara hakikat binatang dan non binatang dalam diri seseorang. Keterpisahan, kesepian, dan isolasi semuanya bersumber dari kemandirian dan kemerdekaan “untuk apa orang mengejar kemandirian dan kemerdekaan kalau hasilnya justru kesepian dan isolasi?” dari dilema ini muncul kebutuhan unitas. Orang dapat mencapai unitas, memperoleh kepuasan (tanpa menyakiti orang lain dan diri sendiri) kalau hakikat kebinatangan dan kemanusiaan itu bisa didamaikan, dan hanya dengan berusaha untuk menjadi manusia seutuhnya melalui berbagi cinta dan kerjasama dengan orang lain.
5. Identitas (identity): Kebutuhan untuk menjadi “aku”, kebutuhan untuk sadar dengan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang terpisah. Manusia harus merasakan dapat mengontrol nasibnya sendiri, harus bisa membuat keputusan, dan merasa bahwa hidupnya nyata-nyata miliknya sendiri. Misalnya orang primitif mengidentifikasikan diri dengan sukunya, dan tidak melihat dirinya sendiri sebagai bagian yang terpisah dari kelompoknya.
Kebutuhan untuk memahami dan beraktivitas
1) Kerangka orientasi (frame of orientaion): Orang membutuhkan peta mengenai dunia sosial dan dunia alaminya; tanpa peta itu dia akan bingung dan tidak mampu bertingkah laku yang ajeg-mempribadi. Manusia selalu dihadapkan dengan fenomena alam yang membingungkan dan realitas yang menakutkan, mereka membutuhkan hidupnya menjadi bermakna. Dia berkeinginan untuk dapat meramalkan kompleksitas eksistensi. Kerangka orientasi adalah seperangkat keyakinan mengenai eksistensi hidup, perjalanan hidup-tingkah laku bagaimana yang harus dikerjakannya, yang mutlak dibutuhkan untuk memperoleh kesehatan jiwa.
2) Kerangka kesetiaan (frame of devotion): Kebutuhan untuk memiliki tujuan hidup yang mutlak. Orang membutuhkan sesuatu yang dapat menerima seluruh pengabdian hidupnya, sesuatu yang membuat hidupnya menjadi bermakna. Kerangka pengabdian adalah peta yang mengarahkan pencarian makna hidup, menjadi dasar dari nilai-nilai dan titik puncak dari semua perjuangan.
3) Keterangsangan- stimulasi (excitation-stimulation): Kebutuhan untuk melatih sistem syaraf, untuk memanfaatkan kemampuan otak. Manusia membutuhkan bukan sekedar stimulus sederhana (misalnya: makanan), tetapi stimuli yang mengaktifkan jiwa (misalnya: puisi atau hukm fisika). Stimuli yang tidak cukup direaksi saat itu, tetapi harus direspon secara aktif, produktif, dan berkelanjutan.
4) Keefektivan (effectivity): Kebutuhan untuk menyadari eksistensi diri melawan perasaan tidak mampu dan melatih kompetensi/kemampuan.
MEKANISME MELARIKAN DIRI DARI KEBEBASAN
Masyarakat kapitalis kontemporer menempatkan orang sebagai korban dari pekerjaan mereka sendiri.Konflik antara kecenderungan mandiri dengan ketidakberjayaan dapat merusak kesehatan mental. Menurut Fromm, ciri orang normal atau yang mentalnya sehat adalah orang yang mampu bekerja produktif sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya, sekaligus mampu berpartisipasi dalam kehidupan sosial yang penuh cinta. Menurut Fromm, normalitas adalah keadaan optimal dari pertumbuhan (kemandirian) dan kebahagiaan (kebersamaan) dari individu.
Pada dasarnya ada dua cara untuk memperoleh makna dan kebersamaan dalam kehidupan diantaranya:
1. Mencapai kebebasan positif yakni berusaha menyatu dengan orang lain, tanpa mengorbankan kebebasan dan integritas pribadi. Ini adalah pendekatan optimistik dan altruistik, yang menghubungkan diri dengan orang lain melalui kerja dan cinta, melalui ekspresi perasaan dan kemampuan intelektual yang tulus dan terbuka. Oleh Fromm disebut pendekatan humanistik, yang membuat orang tidak merasa kesepian dan tertekan, karena semua menjadi saudara dari yang lain.
2. Memperoleh rasa aman denagn meninggalkan kebebasan dan menyerahkan bulat-bulat individualitas dan intehritas diri kepada sesuatu (bisa orang atau lembaga) yang dapat memberi rasa aman. Solusi semacam ini dapat menghilangkan kecemasan karena kesendirian dan ketidakberdayaan, namun menjadi negatif karena tidak mengizinkan orang mengekspresikan diri, dan mengembangkan diri. Cara memperoleh rasa aman dengan berlindung di bawah kekuatan lain disebut Fromm mekanisme pelarian. Mekanisme pelarian sepanjang dipakai sekali waktu, adalah dorongan yang normal pada semua orang, baik individual maupun kolektif. Ada tiga mekanisme pelarian yang terpenting, yakni otoritarianisme, destruktif, dan konfomitas.
a. Otoritarianisme (authoritarianism)
Kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian diri dan menggabungkannya dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya, untuk memperoleh kekuatan yang dirasakan tidak dimilikinya.Kebutuhan untuk menggabung dengan partner yang memiliki kekuatan bisa merupakan masokisme dan sadisme.Masokisme merupakan hasil dari perasaan dasar tidak beraya, lemah, inferior yang dibawa, sehingga kekuatan itu tertuju atau menindas dirinya.Masokisme merupakan bentuk tersembunyi dari perjuangan memperoleh cinta dan kesetiaan, tetapi tidak memberi sumbangan positif kekemandirian. Sedangkan sadisme dipakai untuk meredakan kecemasan dasar melalui penyatuan diri dengan orang lain atau institusi. Sadisme juga merupakan bentuk neurotik yang lebih parah dan lebih berbahaya (karena mengacam orang lain) dibanding masokisme.
b. Perusakan (destruktiveness)
Destruktif berakar pada perasaan kesepian, isolasi, dan tak berdaya. Destruktif mencari kekuatan tidak melalui membangun hubungan dengan pihak luar, tetapi melalui usaha membalas/merusak kekuatan orang lain, individu, bahkan negara dapat memakai strstegi destruktif , merusak orang atau obyek, dalam rangka memperoleh perasaan kuat yang hilang.
c. Penyesuaian (conformity)
Bentuk pelarian dari perasaan kesepian dari isolasi berupa penyerahan individualitas dan menjadi apa saja seperti yang diinginkan kekuatan dari luar. Orang menjadi robot, mereaksi sesuatu persis seperti yang direncanakan dan mekanis menuruti kemauan orang lain.
Daftar Psutaka
Hall, Calvin dan dkk. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis).Yogyakarta: Kanisius
Suryabarata, Sumadi.2007.Psikologi Kepribadian.Jakarta: Raja Grafindo

Teori Belajar Edward L. Thorndike


A. SEJARAH EDWARD LEE THORNDIKE
Edward L.Thorndike, merupakan pelopor tidakhanya dalamteori belajar,tetapi jugadalam praktikpendidikan, verbal, psikologi komparatif, tes kecerdasan, masalah sifat-mengasuh, transfertraining, dan penerapanukuran kuantitatifuntuk masalahsociopsychological. Thorndikememulai penelitiannya tersebut ketika usianya lebihdari 60tahun.
Penelitiandimulaidengan studi mengenaitelepati mentalpada anak-anak(yang iadijelaskan sebagaipendeteksibawah sadarpada gerakan tiapmenit darianakyang telah dibuat oleheksperimen).Percobaan berikutnyamelibatkananak ayam,kucing,tikus,anjing, ikan,monyet,danpada akhirnyamanusiadewasa. Produktivitas ilmiah Thorndike sulit untuk dipercaya. Sampai tahun 1947, ia telah menulis sebanyak 507 buku, monographs dan artikel jurnal. Dalam otobiografinya tertulis bahwa ia telah menghabiskan waktu sebanyak 20.000 jam untuk membaca an mempelajari buku ilmiah dan jurnal
Thorndike lahir di Williamsburg, pada tanggal 31 Agustus 1874. Masa kanak-kanak dan pendidikannya adalah sebagai anak lelaki kedua dari seorang pendeta Metodis di Lowell, Massachusetts. Thorndike lulus dari The Roxbury Sekolah Latin (1981), di West Roxbury, Massachusetts, Wesleyan University (BS 1895), Harvard University (MA 1897), dan Columbia University (PhD. 1898).
Awal karir Thorndike dibidang psikologi dimulai saat ia tertarik terhadap pada buku William James yang berjudul “Principles of Psychology, dimana ia masih menjadi mahasiswa di Universitas Wesleyan. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk mengambil mata kuliah James di Universitas Harvard. Hubungan Thorndike dengan James sangat dekat, tidak hanya sebatas dosen dengan mahasiswa. Hal ini terbukti dengan beberapa bantuan yang diberikan James terhadap Thorndike, antara lain mengijinkan Thorndike untuk tinggal di basementnya dan melakukan eksperimen di laboratoriumnya.
Setelah ia menyelesaikan kuliah di Universitas Harvard, Thorndike bekerja di “Teacher’s College of Columbia” dibawah pimpinan James Mc.Keen Cattell. Disinilah minatnya yang besar timbul terhadap proses belajar, pendidikan dan inteligensi. Diawal penelitian, Thorndike menggunakan anak ayam sebagai bahan penelitiannya, kemudian diganti dengan kucing, tikus, anjing, ikan, kera dan orang dewasa. Sebenarnya ia juga menggunakan gorilla, tetapi tidak berlangsung lama karena ia tidak punya uang untuk membeli dan merawatnya.
Tahun-tahun penelitian hewan yang dirangkum dalam disertasi doktornya, berjudul animal intelligence: An Expert mental study of the associative Process in Animal,yang diterbitkan pada tahun 1890 dan diperluas dan diterbitkan ulang pada tahun 1911 sebagai Intelijen Hewan. Ide-ide dasar yang dikemukakan dalam dokumen-dokumen ini merasuki semua tulisan Thorndike dan pada kenyataannya sebagian besar berupa teori belajar.
Pada tanggal 29 Agustus 1900, dia menikahi Elizabeth Moulton dan mereka mempunyai lima anak. Beliau merupakan seorang anggota dewan dari Psychological Association pada tahuan 1912. Kemudian, pada tahun 1937, Thorndike menjadi Presiden kedua Psychometric Society, mengikuti jejak Leon Thurstone yang telah mendirikan masyarakat dan jurnal Psychometrika tahun sebelumnya. Edward L. Thorndike meninggal tanggal 9 Agustus 1949.
Beberapa buku yang pernah ditulis, antara lain :
• Animal Intelligence : An Experimental Study of Asociation Process in Animal – 1898 (saat Thorndike berusia 24 tahun)
Buku ini berisi penelitian Thorndike terhadap tingkah laku beberapa jenis hewan, yang mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang ia anut yaitu asosiasi
• Educational Psychology (1903)
Buku ini merupakan penerapan prinsip transfer of training di bidang pendidikan. Berkat buku ini dan prestasinya yang lain, Thorndike diangkat menjadi guru besar di “Teacher’s College of Columbia”.
• Animal Intelligence (1911)
Sebenarnya buku ini merupakan disertasi doktornya (1898) yang dikembangkan bersama dengan penelitian-penelitiannya yang lain.
B. GAGASAN TEORI UTAMA THORNDIKE
1. Koneksionisme
Thorndike memplokamirkan teorinya dalam belajar. Ia mengungkapkan bahwasannya setiap makhluk hidup dalam tingkah lakunya itu merupakan hubungan antara stimulus dan respon.Adapun teori Thorndike ini disebut teori koneksionisme, koneksidisebutsebagaikoneksisarafyangdisebutsambungansarafantara stimuli(S) dan respon(R).Agar tercapaihubungan antara stimulus dan respons, perlu adanyakemampuan untuk memilih respons yang tepat sertamelalui percobaan-percobaan ( trials ) dan kegagalan-kegagalan ( error ) terlebih dahulu.

2. Selecting and Connecting (Memilih dan Menghubungkan)
Teori Thorndhike yang paling mendasar adalah trial dan eror belajar, atau pada awalnya disebut selecting and connecting. (memilih dan menghubungan). Ia mencapai gagasan dasar ini melalui percobaan awalnya, menempatkan hewan ke dalam “puzzle box” (seperti gambar di bawah) yang diatur sedemikian rupa, sehingga binatang membuat jenis respon melarikan diri.









Percobaan dilakukan terhadap seekor kucing yang lapar.Kucing itu ditaruh dalam kandang, yang mana terdapat celah-celah yang kecil di kandang tersebut, sehingga seekor kucing itu bisa melihat makakanan yang berada diluar kandang. Puzzle box di atas adalah sebuah kurungan kecil dengan pintu yang akan terbuka jika kucing menarik tali yang tergantung di dalam kurungan. Tugas kucing ialah keluar dari kurungan untuk mendapatkan makanan (hadiah) yang ditempatkan di luar kurungan. Mula-mula, kucing akan berjalan di sekeliling kurungan, mencakar-cakar lantai, meloncat ke kiri-kanan hingga sampai pada gerakan yang tidak sengaja dia menarik tali pembuka pintu kurungan. Thorndike mengulang percobaan ini beberapa kali, dan kucing pun masih lari sekitar kandangnya, tetapi menarik tali lebih cepat. Setelah beberapa percobaan, kucing memusatkan tingkah lakunya di sekeliling tali, akhirnya menarik tali, pintu terbuka, dan mendapatkan makanan.
Thorndike merencanakan waktu hewan untuk memecahkan masalah sebagai fungsi dari jumlah membuka peluang binatang dalam memecahkan masalah. Setiap kesempatan adalah latihan, dan latihan dihentikan ketika binatang menemukan solusi yang benar. Dalam susunan percobaan dasar ini,Thorndike secara konsisten mencatat bahwa waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah secara sistematis menurun sebagai jumlah latihan yang meningkat. Yakni,semakin banyak peluang binatang, semakin cepat memecahkan masalah.

3. Belajar merupakan Penambahan (Incremental), bukan secara Mendalam (Insightful)
Tidak ada penurunan waktu yang lambat untuk mencari solusi yang terdapat dari percobaan di atas. Thorndike menyimpulkan bahwa belajar lebih pada suatu tambahan daripada mendalam. Dengan kata lain, belajar terjadi dalam langkah-langkah sistematis yang sangat kecil daripada lompatan besar. Ia mencatat bahwa jika belajar mendalam, grafik akan menunjukkan bahwa waktu untuk solusi akan tetap relatif stabil dan akan tinggi ketika binatang tidak memperoleh latihan..

4. Belajar Tidak Ditengahi Oleh Ide-Ide.
Berdasarkan penelitiannya, Thorndike (1898) juga menyimpulkan bahwa belajar merupakan proses langsung dan tidak dipengaruhi oleh proses berpikir atau suatu alasan. Berdasarkan percobaan di atas, kucing tidak melihat situasi, apalagi memikirkan hal itu untuk memutuskan apa yang harus dilakukan. Perilaku tersebut diperoleh dari naluri dan pengalaman yang telah menetap sebagai reaksi yang cocok untuk situasi "kurungan ketika lapar dengan makanan di luar".
5. Semua mamalia belajar dalam cara yang sama
Banyak yang terganggu oleh desakan Thorndike bahwa semua pembelajaran merupakan proses langsung dan tidak dimediasi oleh ide-ide, terutama karena ia juga mempelajari semua mamalia termasuk manusia mengikuti hukum yang sama.

 THORNDIKESEBELUM1930
Pemikiran Thorndike tentang prosesbelajardibagi menjadi dua bagian: satu bagianyang terdiri daripikirannyasebelum tahun 1930, dan bagian keduaterdiri daripandangannyasetelah 1930, ketika beberapaperubahanpandanganjauhsebelumnya.

1. Hukum Kesiapan (The Laws of Readiness)
Hukum Kesiapan (The Laws of Readiness), yang diusulkan dalam bukunya The Original Nature Of Man (Thorndike, 1913b), memiliki tiga bagian, disingkat sebagai berikut:
1) Ketika sebuah unit konduksi siap melakukan, konduksi tersebutmemuaskan.
2) Untuk unit konduksi siap untuk melakukan, tidak melakukan menyebalkan
3) Ketika sebuah unit konduksi belum siap untuk konduksi dan dipaksa untuk melakukan, konduksi dengan itu menjengkelkan
Apa yang dimaksudkan di sini dengan "unit konduksi siap melakukan" hanyalah kesiapan untuk tindakan atau tujuan diarahkan. Menggunakan terminologi saat ini kita dapat menyatakan kembali hukum Thorndike tentang kesiapan sebagai berikut:
1. Ketika seseorang siap untuk melakukan tindakan tertentu, untuk melakukannya adalah memuaskan
2. Ketika seseorang siap untuk melakukan tindakan tertentu, tidak untuk melakukannya adalah menjengkelkan
3. Ketika seseorang tidak siap untuk melakukan tindakan tertentu dan dipaksa untuk melakukannya, itu menjengkelkan
Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa tujuan perilaku yang diarahkan menyebabkan frustrasi dan menyebabkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang mereka tidak ingin lakukan adalah juga frustasi.

2. HukumLatihan (The Law of Exercise)
Sebelumtahun 1930,teoriThorndikeyang termasuk The Law of Exercise, yang memiliki duabagian:
1. Hubungan antara stimulus dan respon diperkuat ketika mereka digunakan. Dengan kata lain, melalui latihan berulang-ulang maka hubungan stimulus dan respons semakin kuat.Ini adalah bagiandari hukumlatihan yang disebuthukumpenggunaan (Law Of Use).
2. Hubungan antarastimulus dan respon melemahketika praktikdihentikanatau merekatidak digunakan. Iniadalah bagiandari hukumlatihan yang disebuthukumtidak digunakan (Law Of Disuse)
Apa yang dimaksud Thorndike dengan penguatan atau melemahnya koneksi?Ia mendefinisikan penguatan sebagai peningkatan probabilitas, bahwa respon akan dibuat ketika stimulus berulang. Jika ikatan antara stimulus dan respon yang diperkuat, waktu berikutnya stimulus yang terjadi ada kemungkinan peningkatan bahwa respon akan terjadi. Jika ikatan itu melemah, ada kemungkinan menurun bahwa waktu berikutnya terjadi stimulus respon akan terjadi. Secara singkat, hukum kesiapan mengatakan bahwa kita belajar dengan melakukannya dan melupakan dengan tidak melakukannya.

3. Hukum efek (The Law of Effect)
Hukum efek, sebelum tahun 1930, mengacu pada penguatan atau melemahnya suatu hubungan antara stimulus dan respons sebagai akibat dari konsekuensi respon. Sebagai contoh, jika respon yang diikuti oleh kepuasan latihan dari suatu keadaan, kekuatan sambungan meningkat. Jika respon diikuti oleh latihan dari suatu keadaan yang menjengkelkan, kekuatan sambungan menurun. Dalam terminologi modern, Jika stimulus mengarah ke respon, yang pada gilirannya menyebabkan penguatan, koneksi SR adalah penguatan. Di sisi lain, jika stimulus mengarah ke respon yang mengarah ke hukuman, koneksi SR melemah.
Hukum Efek Thorndike diserang dengan beberapa alasan. Kritikus mengatakan argumennya itu tidak berujung pangkal: Jika respon probablility naik, itu dikatakan karena kepuasan latihan suatu keadaan. Jika itu tidak naik, itu diklaim tidak ada kehadiran. Ia percaya bahwa situasi semacam ini tidak memungkinkan untuk tes teori sejak peristiwa yang sama (meningkat atau menurun probabilitas respon) adalah Thorndike telah menunjukkan kritik ini menjadi tidak valid karena sesuatu sekali telah terbukti satisfier, jika dapat digunakan untuk perilaku modifly dalam situasi lain (Meehl, 1950). Dengan kata lain, itu adalah "transituational" sifat pemuas yang menyimpan hukum efek dari sirkularitas.
Kritik kedua, dengan fakta bahwa efek respon muncul untuk bekerja kembali dalam waktu pada ikatan saraf yang menyebabkannya. Pertama, ada stimulus yang menyebabkan respon tertentu untuk terjadi karena ada hubungan saraf antara bahwa stimulus dan respon itu. Jika hasil respon dalam keadaan memuaskan urusan, koneksi SR diperkuat. Bagaimana ini bisa terjadi, karena unit konduksi telah dipecat sebelum negara memuaskan urusan yang telah terjadi? Thorndike berusaha untuk menjawab pertanyaan ini dengan mendalilkan adanya reaksi mengkonfirmasikan, yang memicu dalam sistem saraf jika respon menghasilkan dalam keadaan memuaskan urusan. Thorndike merasa bahwa ini adalah reaksi mengkonfirmasikan neurofisiologis di alam dan organisme itu tidak sadar akan hal itu. Meskipun Thorndike tidak merinci karakteristik reaksi ini, ia menduga bahwa seperti reaksi neurofisiologis adalah penguat sejati obligasi saraf. Kami akan memiliki lebih mengatakan tentang reaksi mengkonfirmasi ketika kita mempertimbangkan konsep Thorndike tentang rasa memiliki.
Beberapa ahli teori belajar telah mencoba untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana penguatan dapat memperkuat respon yang dihasilkan dengan mendalilkan adanya jejak saraf yang masih aktif ketika kepuasan terjadi. Dengan kata lain, untuk para teoretikus ini, unit konduksi masih aktif pada saat organisme pengalaman negara urusan memuaskan. Meskipun gagasan jejak saraf menjadi jawaban populer untuk pertanyaan, masalah bagaimana penguatan memperkuat respon pada dasarnya masih belum terpecahkan.
Kritik ketiga hukum Thorndike yang efek menyangkut cara otomatis bahwa koneksi itu diperkuat atau diperlemah. Bahkan dengan hukum efek, Thorndike percaya belajar menjadi langsung dan bukan akibat dari mekanisme sadar seperti berpikir atau penalaran. Jelas, Thorndike merasa bahwa organisme tidak perlu menyadari berbagai pemuas bagi mereka untuk memiliki efek mereka. Perdebatan mengenai apakah pelajar atau tidak harus menyadari kontinjensi penguatan sebelum mereka dapat mempengaruhi perilaku berlanjut hari ini, dan karena itu kami akan kembali ke sana sering sepanjang buku ini.

 KONSEP KEDUA SEBELUM TAHUN 1930
Sebelum tahun 1930 teori Thorndike mencakup beberapa ide-ide yang kurang penting yang berhubungan dengan hukum kesiapan, akibat dan latihan. Konsep kedua mencakup multiple respon, perilaku, ketidaknormalan, respon dari analogi dan perpindahanasosiasi.

1. Multiple Respons atau reaksi yang bervariasi
Respon multiple atau variasi respon adalah tahap awal dari semua pembelajaran dari Thorndike. Hal itu kembali pada fakta ketika respon pertama tidak memecahkan sebuah permasalahan, maka kita akan mencoba respon lain yang lebih cocok untuk digunakan dan tentunya lebih bisa untuk memecahkan sebuah masalah yang ada. Trial and error learning, tentunya tergantung pada percobaan pertama pada sebuah respon yang di tunjukkan oleh binatang (sebagai model percobaan) sampai menemukan sebuah respon yang cocok. Ketika muncul suatu kemungkinan dari respon untuk dibuat lebih baik dari sebelumnya. Dengan kata lain,melaluiproses trial and error seseorang akan terus melakukanrespons sebelum memperoleh respon yang tepat dalammemecahkan masalah yang dihadapi.



2. Set atau attitude
Thorndike (1913) menjelaskan bahwa set atau attitude adalah situasi di dalam diri individu yang menetukan apakah sesuatu itu menyenangkan atau tidak bagi individu tersebut. Proses belajar berlangsung dengan baik bila situasi menyenangkan dan terganggu bila situasi tidak menyenangkan.

3. Prinsip aktivitas berat sebelah (partial activity/prepotency of elements)
yaitu manusia memberikan respons hanya pada aspek tertentu. Dalam belajar harus diperhatikan lingkungan yang sangat komplek yang dapat memberi kesan berbeda untuk orang yang berbeda.

4. Prinsip Response by analogy atau transfer of training.
yaitu manusia merespon situasi yang belum pernah dialami melalui pemindahan (transfer) unsur-unsur yang telah mereka kenal kepada situasi baru. Dikenal dengan theory of identical elements yang menyatakan bahwa makin banyak unsur yang identik, maka proses transfer semakin mudah.
Thorndike (1906) menyatakan bahwa ada sedikit bukti bahwa pendidikan umum begitu mudah. Bahkan, ia percaya bahwa pendidikan yang menghasilkan keterampilan yang sangat khusus daripada yang umum:
Seorang pria mungkin dalam hal musisi prima tetapi dalam hal lain yang bodoh.Dia mungkin seorang penyair berbakat, tetapi bebal dalam music.Dia mungkin memiliki memori indah untuk angka dan hanya pas-pasan untuk daerah, wajah poectry atau manusia.Sekolah anak mungkin alasan mengagumkan dalam ilmu pengetahuan dan berada di bawah rata-rata dalam tata bahasa.Mereka yang sangat baik dalam menggambar mungkin sangat miskin dalam menari.

5. Perpindahan asosiasi (Associative Shifting)
yaitu proses peralihan suatu situasi yang telah dikenal ke situasi yang belum dikenal secara bertahap. Caranya, menambahkan sedikit demi sedikit unsur-unsur (elemen) baru dan membuang unsur-unsur lama sedikit demi sedikit sekali, sehingga unsur baru dapat dikenal dengan mudah oleh individu.
Dalam cara yang lebih umum, iklan banyak didasarkan pada prinsip perpindahan asosiasi. Pengiklan hanya menemukan objek stimulus yang menimbulkan perasaan positif, seperti gambar seorang wanita cantik atau pria tampan, kepribadian dihormati, seorang dokter medis, ibu, atau adegan outdoor romantis. Kemudian pengiklan memasang obyek stimulus dengan produk - sebuah merek rokok, mobil, atau deodorant sesering mungkin sehingga produk akan menimbulkan perasaan positif yang sama yang ditimbulkan oleh stimulus objek asli.
Dalam teori Thorndike, perlu dicatat bahwa perpindahan asosiasi sangat berbeda dari pembelajaran trial-and-error yang diatur oleh hukum efek. Tidak seperti pembelajaran yang tergantung pada hukum efek, perpindahan asosiasi hanya tergantung pada hubungan atau kedekatan.

 THORNDIKE SETELAH 1930
Pada bulan September 1929, Thorndike berdiri di depan Kongres Internasional Psikologi di New Haven, Connecticut, dan memulai pidatonya dengan mengatakan, "Saya salah”.Pengakuan ini menunjukkan suatu aspek penting dari praktek ilmiah yang baik, yaknipara ilmuwan diwajibkan untuk mengubah kesimpulan mereka jika data yang ada menuntut demikian.

1. Revisi Law of Exercise (Hukum Latihan)
Hukum latihan ditinggalkan, karena ditemuka bila pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus dan respons. Meskipun demikian, Thorndike masih mempertahankan bahwa latihan menyebabkan peningkatan kecil dan bahwa kurangnya latihan menyebabkan sedikit lupa.

2. Revisi Law of Effect (Hukum Efek)
Setelah tahun 1930, hukum efek menyatakan bahwa respon diikuti oleh keadaan memuaskan dari stimulus yang diperkuat. Selain itu, Thorndike menemukan bahwa respon menghukum tidak berpengaruh pada kekuatan hubungan. Law of Effect direvisi menjadi, efek penguatan (reward) dapat meningkatkan kekuatan hubungan, sedangkan hukuman (punishment) tidak berpengaruh apapun tehadap kekuatan hubungan.


3. Belongingness
Thorndike mengamati bahwa dalam belajar asosiasi, di samping faktor kedekatan, hukum efek sering terlibat. Menurutnya, konsep belongingness yakni terjadinya hubungan stimulus respon bukannya kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara kedua hal tersebut. Situasi belajar akan mempengaruhi hasil belajar. Kita dapat mengatakan, misalnya, bahwa binatang lapar akan mencari makanan yang memuaskan dan binatang haus akan menemukan air yang memuaskan.
Thorndike menggunakan konsep belongingness dalam dua cara. Pertama, ia menggunakannya untuk menjelaskan mengapa ketika belajar materi verbal, seseorang cenderung untuk mengatur apa yang telah dipelajari ke dalam unit yang dianggap sebagai milik bersama. Kedua, ia mengatakan bahwa jika efek yang dihasilkan oleh respon yang terkait dengan kebutuhan organisme, pembelajaran akan lebih efektif daripada efek yang dihasilkan oleh respon yang tidak berhubungan dengan kebutuhan organisme.
Thorndike juga menyatakan bahwa respon dipelajari paling mudah diberikan dalam arah yang terbentuk. Sebagai contoh, hampir semua orang bisa melafalkan alfabet maju, tapi jarang seseorang bisa membacanya mundur. Demikian juga, sebagian besar anak sekolah pun bisa melafalkan ikrar kesetiaan maju, tetapi akan jarang menemukan seorang anak dapat membacanya mundur.

4. Spread of effect (Sebaran Efek)
Setelah tahun 1930, Thorndike memberikan konsep teoritis penting lainnya yang ia sebut dengan sebaran efek, yaitu bahwa akibat dari suatu perbuatan dapat menular. Dalam salah satu ekperimennya Thorndike secara tidak sengaja menemukan bahwa kondisi yang memuaskan tidak hanya meningkatkan peluang terulangnya respon yang mengarah ke kondisi yang memuaskan tersebut. Akan tetapi juga meningkatkan peluang terulangnya respon disekitar respon yang dikuatkan.
Salah satu eksperimen yang menunjukan efek ini menampilkan sepuluh kata diantaranya adalah catnip, debate, dan dazzle kepada subyek yang diperintahkan untuk merespon dari angka 1 sampai 10. Jika subyek merespon sebuah kata dengan angka yang sebelumnya telah dipilih oleh peneliti, peneliti akan berkata “benar”. Jika subyek merespon dengan angka lain, peneliti akan berkata “salah”. Eksperimen ini dilakukan sampai beberapa uji coba. Dua hasil pengamatan ditemukan dari penelitian ini. Pertama, ternyata penguatan (peneliti berkata “benar”) meningkatkan peluang pengulangan angka yang sama ketika kata stimulus diberikan, tetapi hukuman (peniliti berkata “salah”) tidak mengurangi peluang pengulangan angka yang salah. Sebagian dengan dasar penelitian inilah, Thorndike merevisi hukum efeknya sebelumnya.
Yang kedua, ternyata peluang pengulangan angka sebelum dan setelah angka yang dikuatkan meningkat, meskipun angka itu tidak mendapatkan penguatan dan bahkan angka-angka didekat angka yang sebenarnya dihubungkan dengan hukuman. Oleh sebab itu Thorndike menyebut kondisi yang memuaskan “menyebar” dari respon yang dikuatkan ke respon di sekelilingnya. Dia menyebut fenomena ini dengan nama spread of effect (sebaran efek). Thorndike juga menemukan bahwa efek ini akan menghilang seiring bertambahnya jarak. Dengan kata lain, respon yang dikuatkan memiliki peluang pengulangan terbesar, kemudian respon yang paling dekat dengan respon yang dikuatkan, kemudian respon didekat respon itu, dan begitu seterusnya.
Ketika menemukan sebaran efek, Thorndike merasa dia telah menemukan penegasan lain untuk hukum efeknya, karena penguatan tidak hanya meningkatkan peluang respon yang dikuatkan tetapi juga meningkatkan peluang respon-respon didekatnya, meskipun respon-respon ini memperoleh hukuman. Dia juga merasa bahwa sebaran efek lebih jauh menunjukan sifat belajar yang langsung dan otomatis.

C. APLIKASI TEORI THORNDIKE
1. Thorndike dan pendidikan
Thorndike percaya bahwa praktek pendidikan harus dipelajari secara ilmiah. Jelas baginya bahwa harus ada hubungan erat antara pengetahuan proses belajar dengan praktek mengajar. Oleh sebab itu, dia berharap seiring bertambahnya hal yang telah ditemukan mengenai sifat belajar, semakin banyak juga yang harus diterapkan untuk meningkatkan praktek mengajar. Thorndike (1906) berpendapat:
Tentu saja pengetahuan psikologi saat ini lebih mendekati angka nol daripada kesempurnaan dan aplikasinya untuk pengajaran tidaklah lengkap. Tidak menentu dan berubah-ubah. Penerapan psikologi kedalam pengajaran lebih seperti ilmu tumbuhan dan ilmu kimia yang diterapkan untuk pertanian daripada lmu psiologi dan patologi yang diterapkan untuk kedokteran. Seorang dapat bercocok tanam dengan baik tanpa ilmu pengetahuan dan seorang dapat mengajar dengan baik tanpa harus mengenal dan menerapkan ilmu psikologi. Tetapi petani yang memiliki pengetahuan cara menerapkan ilmu tumbuhan dan ilmu kimia kedalam bercocok tanam akan menjadi petani yang lebih berhasil daripada petani yang tidak memiliki ilmu tersebut dan hal yang sama juga terjadi untuk guru dimana guru yang dapat menerapkan ilmu psikologi, ilmu sifat manusia kedalam masalah di sekolah akan menjadi guru yang lebih berhasil.

Pada banyak hal, pemikiran Thorndike bertentangan dengan pandangan tradisional tentang pendidikan; salah satu contohnya dapat dilihat dalam teori elemen identik transfernya. Thorndike (1912) juga memiliki pandangan yang berbeda untuk pengajaran dengan teknik ceramah yang begitu terkenal saat itu (sampai sekarang):
Metode ceramah dan demonstrasi menampilkan pendekatan yang memiliki kelemahan dimana guru hanya memberitahu siswa apa yang guru sampaikan saja. Guru menyampaikan kesimpulan dan percaya siswa akan menggunakan kesimpulan itu untuk belajar lebih banyak. Guru meminta siswa memperhatikan dia, melakukan yang terbaik untuk memahami pertanyaan yang tidak datang sendiri dari mereka dan jawaban yang tidak berasal dari mereka. Guru hanya mendidik siswa seperti seseorang yang memberikan warisan.

Dia juga berkata,
Kesalahan yang paling umum yang dilakukan orang yang tidak berpengalaman dalam hal mengajar adalah berharap siswa mereka memahami apa yang diberitahukan oleh guru. Tetapi memberitahu bukanlah mengajarkan. Ekspresi fakta yang ada dalam pikiran seseorang adalah dorongan alami ketika seseorang ingin orang lain mengetahui fakta-fakta ini, sama halnya dengan menggendong dan menidurkan anak yang sakit yang muncul karena dorongan alami juga. Tetapi memberitahu fakta kepada anak tidak akan menyembuhkan dia dari keacuhan sama halnya dengan tepukan tidak akan menyembuhkan anak yang terkena demam.

Lalu apa yang dimaksud dengan pengajaran yang baik? Untuk mewujudkan pengajaran yang baik, pertama kali Anda harus benar-benar tahu apa yang ingin Anda ajarkan. Jika Anda tidak benar-benar mengetahui apa yang Anda akan ajarkan, Anda tidakakan tahu materi apa yang akan Anda sajikan, respon apa yang Anda cari, dan kapan harus memberikan pemuas kepada siswa. Prinsip ini tidak sejelas seperti kelihatannya. Meskipun tujuh aturan Thorndike (1992) didesain untuk mengajarkan aritmatika, aturan ini menampilkan saran dia untuk pengajaran secara umum:
1. Pertimbangkan situasi yang dihadapi oleh siswa.
2. Pertimbangkan respon yang ingin Anda hubungkan.
3. Bentuklah pertalian: Jangan berharap pertalian muncul karena keajaiban.
4. Jangan buat pertalian yang harus diputus.
5. Jangan buat dua atau tiga pertalian jika satu saja sudah cukup.
6. Buatlah pertalian yang nanti dibutuhkan lagi.
7. Pilihlah situasi yang cocok dengan hidup dan respon yang penting untuk hidup.

2. Penerapan Teori Belajar Koneksionisme
a. Guru dalam proses pembelajaran harus tahu apayang hendak diberikan kepada siswa.
b. Dalam proses pembelajaran, tujuan yang akandicapai harus dirumuskan dengan jelas, masihdalam jangkauan kemampuan siswa.
c. Motivasi dalam belajar tidak begitu penting, yanglebih penting ialah adanya respon-respons yangbenar terhadap stimuli.
d. Ulangan yang teratur perlu sebagai umpan balikbagi guru, apakah proses pembelajaran sudahsesuai dengan tujuan yang ingin dicapai atau belum.
e. Siswa yang sudah belajar dengan baik segeradiarahkan.
f. Situasi belajar dibuat mirip dengan kehidupan nyata,sehingga terjadi transfer dari kelas ke lingkunganluar.
g. Materi pembelajaran yang diberikan harus dapatditerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
h. Tugas yang melebihi kemampuan peserta didiktidak akan meningkatkan kemampuan siswa dalammemecahkan permasalahannya

3. Implikasi Hukum Kesiapan dalam Pendidikan
a. Sebelum gurudalam kelas mulai mengajar, maka anak – anak disiapkan mentalnya terlebih dahulu. Misalnya anak disuruh duduk yang rapi, tenang dan sebagainya.
b. Penggunaan tes bakat sangat membantu untuk menyalurkan bakat anak. Sebab mendidik sesuai dengan bakatnya akan lebih lancar dibandingkan dengan bila tidak berbakat.

4. Implikasi Hukum Kesiapan dalam Pendidikan
Penggunaan hukum latihan dalam proses belajar mengajar adalah prinsip ulangan, misalnya :
a. Memberi keterampilan kepada para siswa agar sering atau makin banyak menggunakan pengetahuan yang telah diperolehnya.
b. Diadakan latihan resitasi dari bahan – bahan yang dipelajari.
c. Diadakan ulangan – ulangan yang teratur dan bahkan dengan ulangan yang ketat atau system drill, ini akan memperkuat hubungan S-R.

5. Implikasi Hukum Efek dalam Pendidikan
a. Pengalaman/situasi kelas/kampus buatlah sedemikian rupa sehingga menyenangkan bagi para siswa/mahasiswa/guru maupun karyawan sekolah. Penghuni sekolah merasa puas, aman, dan mereka senang pada tugasnya masing – masing.
b. Bahan–bahan pengajaran buatlah ada artinya, dapat diterima atau dimengerti berguna bagi kehidupan.
c. Tugas–tugas sekolah diatur dengan tahap–tahap pencapaian hasilnya dan memberi keyakinan bagi para pelajar, guru, maupun petugas lainnya.
d. Tugas-tugas sekolah ditata dengan tahap-tahap kesukarannya sehingga para siswa dapat maju tanpa mengalami kegagalan
e. Bahan-bahan pelajaran diadakan variasi dan metode pengajaran juga dapat dibuat bervariasi agar pengalaman-pengalaman belajar mengajar menjadi segar dan menyenangkan, tidak menjemukan.
f. Bimbingan , pemberian hadiah, pujian, bahkan bila perlu hukuman tentulah akan dapat memberi motivasi proses belajar mengajar.




DAFTAR RUJUKAN

Adi Yulianto, J. Teori Thorndike dalam Belajar, (Online), (http://www.pandidikan.blogspot.com/2010/04/teori-thorndike-dalam-belajar.html, diakses 31 Januari 2012).

Sumarno, A. Behaviorisme – Teori Thorndike, (Online), (http://elearning.unesa. ac.id/myblog/alim-sumarno/behaviorisme-teori-thondike, diakses 31 Januari 2012).
--. Teori Belajar Behavioristik, (Online), (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/ T%20behaviouristik_0.pdf, diakses 30 Januari 2012).






 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India