Jumat, 28 September 2012

Musik Cara Terapi yang Baik

Mendengar musik atau bermain musik merupakan hal yang sangat populer dimasyarakat, namun tahu kah kita bahwa musik merupakan salah satu cara melakukan terapi. Menurut Dr. Djohan profesor psikologi musik di Institut Seni Indonesia (ISI), penelitian telah menunjukkan bahwa musik dapat meringankan berbagai keluhan dan gangguan seperti kecemasan, depresi, gangguan saraf, insomnia dan stroke, dan dapat mengurangi risiko infeksi, detak jantung dan kontrol tekanan darah. 
Terapi musik sangat penting untuk mempercepat proses penyembuhan dalam kondisi seperti itu, yang dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti menyanyi, bermain musik, membuat gerakan ritmis atau hanya mendengarkan musik,” kata dosen pascasarjana di Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta dan Universitas Negeri Semarang ini.
Secara historis, menurut pria penerima penghargaan Penggunaan Terapi Musik dari College of Music di Universitas Mahidol Bangkok, Thailand, pada 2009 ini, terapi musik sudah dikenal pada akhir abad ke-18, meskipun sebelumnya menjadi media penyembuhan di beberapa tempat seperti Cina, India, Yunani dan Italia. 
Di Amerika, terapi ini diterapkan untuk mengobati korban Perang Dunia I, terutama untuk mengatasi trauma yang mempengaruhi para veteran perang, bahkan para terapis musik sudah berafiliasi dalam sebuah organisasi American Music Therapy Association (AMTA),” kata Djohan, yang juga anggota dari Australia Musik dan Asosiasi Psikologi.  
 

Jenius dan Gangguan Jiwa Tidak Jauh Beda

Amerika Serikat, Gudang Psikologi - Banyak tokoh dunia yang terkenal dengan kejeniusanya mengalami gangguan jiwa. sebuah penelitan baru menemukan bahwa kedua hal tersebut salaing berhubungan. 
Dengan banyaknya tokoh dunia yang dikenal dengan kejeniusanya justru mengalami gangguan jiwa seperti Isac Newton, Ludwig van Beethoven, Edgar Allan Poe, dan John Nash ini menyebabkan banyak orang menganggap bahwa jenius tidak jauh beda dengan gangguan jiwa. 

Hasil penelitian baru yang menyebutkan hubungan keduanya, telah dibahas dalam sebuah acara 5th annual World Science Festival pada 31 Mei di New York, Amerika Serikat.
Salah satu panelis acara tersebut adalah Kay Redfield Jamison, psikolog klinis dan profesor dari Johns Hopkins University School of Medicine. Ia mengatakan, temuan ini mendukung bahwa banyak orang jenius yang justru mengalami siksaan psikis. Kreativitas bagi mereka terkait dengan gangguan suasana hati atau bipolar.
Sebuah penelitian lain yang diterbitkan tahun 2010 di Swedia pada 700.000 orang usia 16 tahun. Penelitian ini dilakukan untuk menguji kecerdasan peserta dan menindaklanjuti apakah 10 tahun berikutnya ada kemungkinan mengalami penyakit mental.
“Mereka menemukan bahwa orang yang unggul saat mereka berusia 16 tahun empat kali lebih mungkin untuk terus mengembangkan gangguan bipolar,” ungkap Jamison, seperti dilansir Livescience, Selasa (5/6).
Gangguan bipolar merupakan merupakan perubahan suasana hati yang ekstrem, terdiri dari episode kebahagiaan (mania) dan depresi. Kemudian bagaimana siklus ini dapat menciptakan kreativitas?
“Orang-orang dengan bipolar cenderung menjadi kreatif ketika mereka keluar dari depresi berat. Ketika suasana hati membaik, kegiatan otaknya pun bergeser. Aktivitas mati di bagian bawah otak yang disebut lobus frontal dan menyala di bagian yang lebih tinggi dari lobus,” jelas James Fallon, neurobiologis dari University of California-Irvine, yang ikut menjadi panelis.
Fallon menambahkan, hebatnya, pergeseran yang sama juga terjadi saat kreativitas terjadi dengan sangat tinggi pada otak manusia.
“Ada hubungan antar sirkuit yang terjadi antara bipolar dan kreativitas,” jelas Fallon.
Namun, tidak selamanya dorongan kreativitas muncul saat setelah depresi muncul. Kondisi gangguan kejiwaan juga dapat melemahkan atau bahkan mengancam hidup seseorang. (dtk/mba)
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India